AFP PHOTO / Ye Aung Thu Rakyat Myanmar berkumpul Danau Kandawgyi merayakan malam tahun baru dengan latar belakang pesat kembang api dekat Pagoda Shwe Da Gon di Yangon. Ini merupakan perayaan terbuka tahun baru pertama sejak Myanmar dikuasai junta militer.
Cerita bersambung Endah Raharjo
Bagian 11
Longyi laki-laki berbeda dengan longyi perempuan, setara dengan sarung untuk laki-laki dan kain jarit untuk perempuan di Indonesia. Longyi laki-laki kebanyakan bercorak kotak-kotak dengan warna dasar gelap, mengarah ke warna tanah, biru tua, hijau tua, coklat tua dan abu-abu; dengan pola kotak-kotak kecil berbagai warna yang tidak menyolok, dari kejauhan tampak polos. Ada juga warna-warna terang dengan pola kotak-kotak besar seperti sarung Indonesia, namun dalam forum-forum resmi warna dan pola semacam itu jarang dikenakan. Lelaki memadu longyi dengan kemeja atau kaus yang dimasukkan ke dalam longyi; ditambah semacam jas atau blazer untuk acara formal.
Longyi perempuan warna-warni bercorak kaya. Bahan dasarnya katun, polyester, atau sutera. Hiasannya mulai dari motif bunga hingga geomotris, tak beda dengan tekstil umumnya, atau bordir benang katun atau sutera aneka warna dan pola. Di toko-toko dan pasar, longyi perempuan dijual dalam bentuk kain yang belum dijahit dan siap pakai, semacam rok lilit. Perempuan memadu longyi dengan blus lengan panjang atau pendek berpotongan pas pinggang, umumnya polos, warna dan bahannya menyesuaikan longyinya.
Tak jauh dari hotel, hanya 5 menit jalan kaki, ada beberapa toko suvenir yang menjual longyi. Dalam perjalanan ke hotel dari kantor Lin kuminta berhenti di toko itu. Aku sengaja pulang sebelum pukul 4 karena ingin membeli selembar longyi. Pegawai toko mengajariku cara memakainya. Tidak sulit, persis mengenakan rok lilit. Aku perlu sedikit megal-megol agar belitannya di pinggulku tertata manis.
Kupilih longyi siap pakai warna hitam dengan hiasan bordir biru alga corak zigzag di bagian tepi bawah, beraksen bordir bentuk belah ketupat warna-warni, kecil seukuran lalat, tersebar di seluruh kain. Aku membawa sepotong blus feminin yang sewarna.
Muncul sensasi antara bahagia dan khawatir, seperti saat mengalami menstruasi pertama, sewaktu melilitkan longyi ke tubuhku. Sensasi itu menggetarkan jantungku begitu kupandangi bayanganku di cermin. Jatuhnya longyi ke tubuhku tidak beda dengan sarung atau jarit yang sering kupakai di Jogja, sewaktu ada acara pernikahan atau Lebaran. Mungkin sensasi itu muncul karena aku berada di negeri orang dan mengenakan pakaian khas mereka.
Aku ingat sahabatku dari Belgia, Amandine. Ia menangis saking bahagianya waktu pertama mengenakan kebaya brokat warna fuchsia, kembaran kebayaku. Saat itu syukuran pernikahan mas April. Amandine tak mampu beranjak dari depan cermin. Ia terpukau oleh tubuhnya sendiri. Menurutnya kebaya itu membuatnya tampil eksotis. Air mata bercucuran, sementara mulutnya tak henti mengucap terima kasih. Mama sampai mbrebes mili dan ingin meminangnya untuk Mas Janu – sayangnya Mas Janu tidak mau beristri bule.
Mungkin aku sedang merasakan pengalaman yang sama dengan yang dirasakan Amandine waktu itu. Apalagi aku akan pergi berdua dengan Kyaw, lelaki yang sejak awal memukauku, yang selalu memakai longyi biru.
**
“Jangan lupa lepas sandalmu,” Kyaw mengingatkan begitu kami berada di ujung bawah tangga menuju pagoda. Aku menurut. Di antara pengunjung lokal lainnya aku tampak sama. Bukan hanya postur dan wajahku, juga longyiku. Karena itu pula aku boleh masuk tanpa membeli tiket seharga US$ 5 untuk orang asing.
Kyaw kuminta mengatakan pada petugas kalau aku orang asing, namun petugas berkeras aku boleh masuk tanpa biaya. Aku senang bukan karena dapat gratisan, namun karena merasa diterima. Inilah kekuatan identitas, karena memakai longyi aku dianggap sama dengan mereka.
“Kamu bisa memasukkan uangmu ke kotak amal, nanti di atas ada banyak,” kata Kyaw.
Awalnya aku harus mengangkat longyiku agar ujung-ujungnya tidak terinjak saat menaiki tangga, namun setelah beberapa langkah ke atas, aku jadi terbiasa.
Tanganku sulit kutahan untuk tidak menggandeng lengan Kyaw sambil menapaki tangga menuju platformnya. Mungkin Kyaw merasakan hal yang sama. Tangan kami saling meraih. Semacam sengatan listrik lembut dan hangat menjalar pelan dari tanganku, menyusuri entah pembuluh darah atau permukaan kulit atau otot-ototku, menyebar ke mana-mana. Jantungku jadi bekerja lebih giat, bukan hanya karena menaiki tangga, juga dirangsang oleh getaran nikmat yang merasuki tiap sel di tubuhku. Aku merayakan perasaanku dengan khidmat, bercampur sedikit khawatir.
Sudah lama aku menunggu dirasuki perasaan semacam ini. Perasaan luar biasa, antara bahagia, damai, suka-cita, dan terpesona. Mungkin perasaan semacam ini yang ditimbulkan oleh opium, marijuana dan sejenisnya, membuat orang ingin selalu tersenyum, enteng, lupa pada hal-hal menyedihkan. Aku agak ngos-ngosan bukan kehabisan nafas, namun akibat campuran rasa seperti yang aku ungkapkan tadi, yang kata-kata gagal mewakili.
Kami menaiki tangga tanpa bicara. Mungkin dengan caranya sendiri – harapanku – Kyaw juga menikmati belitan rasa yang melenakan itu. Ia berhenti begitu kaki kami menginjak platform, lalu mulai bercerita. Dengan berat hati tanganku kulepaskan dari tangannya.
“Pagoda ini sudah berusia lebih dari 2.500 tahun. Pada mulanya hanya setinggi 8 meter. Sekarang jadi 110 meter. Stupanya saja 99 meter. Setelah peristiwa 8888, pemerintah melarang umat Budha merayakan Festival Pagoda Shwedagon. Tapi tahun ini sudah diadakan lagi. Festival ini dilaksanakan tepat pada bulan baru, bulan Tabaung, sesuai penanggalan tradisional Burma. Jatuh pada Februari – Maret. Kalender kami berdasarkan bulan, seperti kalender Jawa dan Islam. Ya?” Kyaw menurunkan pandangannya dari pucuk stupa ke wajahku.
Pagoda terbesar di dunia ini berdiri megah di atas area seluas kira-kira 46 hektar. Para demonstran sering berkumpul di kawasan suci ini untuk mengawali protes-protes pada pemerintah yang represif. Pelarangan diadakannya festival pagoda oleh pemerintah selama 24 tahun salah satunya karena alasan itu.
Pesona stupa berlapis lempengan emas murni ini menyergapku. Mataku melahap bangunan monumental itu dari bawah hingga ke ujungnya. Cahaya senja kala dari barat membuat lapisan emasnya makin berkilau, bias-biasnya menghangatkan plaza yang mengelilinginya.
“Pucuk stupanya bertahtakan lebih dari 5 ribu berlian dan 2 ribu batu rubi; pada pucuknya yang mirip ujung tombak itu berhiaskan berlian senilai 72 carat,” jelas Kyaw. Dari platform ini mataku bebas menikmati keelokan itu.
Melihat banyaknya umat Budha yang memenuhi plaza, bersujud dan berdoa dengan khusyuk, menyalakan lilin, menyembah, serta memandikan patung-patung Budha kecil di sekeliling pagoda utama, pikiranku melayang pada Ka’bah. Bila orang telah percaya pada Sang Maha Besar, ia akan sepenuh hati-jiwa menyerahkan dirinya. Ironisnya, di antara kekhusyukanku memikirkan Tuhan, dalam gelimang cahaya keemasan yang diperindah oleh bias-bias matahari senja, aku teringat pada mega shopping mall di seluruh dunia.
No comments:
Post a Comment