Tuesday, January 15, 2013

Banjarnegara Keluarkan Perbup Budaya Banyumasan

AppId is over the quota
KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSO Dariah (84) maestro lengger asal Desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dalam satu sesi latihan bersama para nayaga dari Paguyuban Seni Banyu Biru Desa Plana. Dariah merupakan lengger lanang (laki-laki) Banyumasan yang tersisa dan akhirnya memilih hidup sebagai perempuan untuk menjalani profesi seninya. Pengabdiannya bagi lengger membuatnya dianugerahi gelar maestro seni dari pemerintah pusat. Foto diambil akhir Januari.

PURWOKERTO, KOMPAS.com--Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, segera mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) tentang Budaya Banyumasan sebagai upaya merevitalisasi kebudayaan tersebut  dalam kehidupan masyarakat di daerah ini.

"Perbup segera dikeluarkan karena saat ini Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Nomor 17 Tahun 2012 mengenai upaya pelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa, telah disahkan," kata Wakil Bupati Banjarnegara, Hadi Supeno, di Purwokerto, Selasa.

Hadi Supeno mengatakan hal itu kepada wartawan usai menghadiri sarasehan  budaya di Gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Menurut dia, pihaknya saat ini masih membahas berbagai hal yang akan dituangkan dalam Perbup tersebut, antara lain penggunaan bahasa, pakaian, kuliner, dan kesenian Banyumasan.

"Bahkan, dalam Perbup tersebut nantinya akan diatur penggunaan bahasa Banyumasan saat acara-acara tertentu termasuk dalam kegiatan protokoler tertentu, baik di lingkungan Pemkab Banjarnegara, swasta, maupun sekolah-sekolah," katanya.

Dalam hal berpakaian, kata dia, saat ini Pemkab Banjarnegara telah mewajibkan pegawai negeri sipil di lingkungannya untuk berbusana batik pada hari-hari tertentu.

"Penggunaan batik ini juga akan diterapkan di kantor-kantor swasta maupun sekolah-sekolah," katanya.

Menurut dia, Pemkab Banjarnegara juga telah menerapkan penyajian kuliner tradisional dalam setiap kegiatan seperti acara "coffee morning" dengan para pejabat yang diselenggarakan satu bulan sekali.

Dalam acara ini, kata dia, seluruh makanan dan minuman yang disajikan merupakan kuliner khas Banjarnegara yang terbuat dari bahan pangan lokal termasuk kopi yang diproduksi petani kabupaten ini.

"Nantinya, kami berharap seluruh kantor swasta juga bisa menyajikan makanan tradisional dalam setiap jamuan,.Demikian pula dengan berbagai kesenian tradisional Banyumas dapat dihidupkan kembali melalui Perbup tersebut," katanya.

Ia menegaskan, kebijakan untuk menerbitkan Perbup tersebut sebagai upaya melestarikan kebudayaan Banyumas dalam kehidupan masyarakat.

Dalam hal ini, kata dia, Perbup tersebut diharapkan dapat menunjukkan bahwa kebudayaan Banyumasan masih ada.

"Jangan sampai budaya asing menggerus budaya Banyumasan akibat derasnya arus globalisasi," katanya.

Kendati demikian, Wabup mengatakan, kebijakan ini bukan berarti melarang budaya asing masuk ke wilayah Banjarnegara.

Menurut dia, masyarakat tidak ada salahnya mengadopsi budaya asing selama itu bersifat positif.

"Yang penting, jangan sampai budaya Banyumasan ini hilang. Harus dilestarikan," katanya.

Lelaki Berlongyi Biru - 14

AppId is over the quota
AFP PHOTO / Ye Aung Thu Rakyat Myanmar berkumpul Danau Kandawgyi merayakan malam tahun baru dengan latar belakang pesat kembang api dekat Pagoda Shwe Da Gon di Yangon. Ini merupakan perayaan terbuka tahun baru pertama sejak Myanmar dikuasai junta militer.

Cerita bersambung Endah Raharjo

Bagian 11

Longyi laki-laki berbeda dengan longyi perempuan, setara dengan sarung untuk laki-laki dan kain jarit untuk perempuan di Indonesia. Longyi laki-laki kebanyakan bercorak kotak-kotak dengan warna dasar gelap, mengarah ke warna tanah, biru tua, hijau tua, coklat tua dan abu-abu; dengan pola kotak-kotak kecil berbagai warna yang tidak menyolok, dari kejauhan tampak polos. Ada juga warna-warna terang dengan pola kotak-kotak besar seperti sarung Indonesia, namun dalam forum-forum resmi warna dan pola semacam itu jarang dikenakan. Lelaki memadu longyi dengan kemeja atau kaus yang dimasukkan ke dalam longyi; ditambah semacam jas atau blazer untuk acara formal.

Longyi perempuan warna-warni bercorak kaya. Bahan dasarnya katun, polyester, atau sutera. Hiasannya mulai dari motif bunga hingga geomotris, tak beda dengan tekstil umumnya, atau bordir benang katun atau sutera aneka warna dan pola. Di toko-toko dan pasar, longyi perempuan dijual dalam bentuk kain yang belum dijahit dan siap pakai, semacam rok lilit. Perempuan memadu longyi dengan blus lengan panjang atau pendek berpotongan pas pinggang, umumnya polos, warna dan bahannya menyesuaikan longyinya.

Tak jauh dari hotel, hanya 5 menit jalan kaki, ada beberapa toko suvenir yang menjual longyi. Dalam perjalanan ke hotel dari kantor Lin kuminta berhenti di toko itu. Aku sengaja pulang sebelum pukul 4 karena ingin membeli selembar longyi. Pegawai toko mengajariku cara memakainya. Tidak sulit, persis mengenakan rok lilit. Aku perlu sedikit megal-megol agar belitannya di pinggulku tertata manis.

Kupilih longyi siap pakai warna hitam dengan hiasan bordir biru alga corak zigzag di bagian tepi bawah, beraksen bordir bentuk belah ketupat warna-warni, kecil seukuran lalat, tersebar di seluruh kain. Aku membawa sepotong blus feminin yang sewarna.

Muncul sensasi antara bahagia dan khawatir, seperti saat mengalami menstruasi pertama, sewaktu melilitkan longyi ke tubuhku. Sensasi itu menggetarkan jantungku begitu kupandangi bayanganku di cermin. Jatuhnya longyi ke tubuhku tidak beda dengan sarung atau jarit yang sering kupakai di Jogja, sewaktu ada acara pernikahan atau Lebaran. Mungkin sensasi itu muncul karena aku berada di negeri orang dan mengenakan pakaian khas mereka.

Aku ingat sahabatku dari Belgia, Amandine. Ia menangis saking bahagianya waktu pertama mengenakan kebaya brokat warna fuchsia, kembaran kebayaku. Saat itu syukuran pernikahan mas April. Amandine tak mampu beranjak dari depan cermin. Ia terpukau oleh tubuhnya sendiri. Menurutnya kebaya itu membuatnya tampil eksotis. Air mata bercucuran, sementara mulutnya tak henti mengucap terima kasih. Mama sampai mbrebes mili dan ingin meminangnya untuk Mas Janu – sayangnya Mas Janu tidak mau beristri bule.

Mungkin aku sedang merasakan pengalaman yang sama dengan yang dirasakan Amandine waktu itu. Apalagi aku akan pergi berdua dengan Kyaw, lelaki yang sejak awal memukauku, yang selalu memakai longyi biru.

**

“Jangan lupa lepas sandalmu,” Kyaw mengingatkan begitu kami berada di ujung bawah tangga menuju pagoda. Aku menurut. Di antara pengunjung lokal lainnya aku tampak sama. Bukan hanya postur dan wajahku, juga longyiku. Karena itu pula aku boleh masuk tanpa membeli tiket seharga US$ 5 untuk orang asing.

Kyaw kuminta mengatakan pada petugas kalau aku orang asing, namun petugas berkeras aku boleh masuk tanpa biaya. Aku senang bukan karena dapat gratisan, namun karena merasa diterima. Inilah kekuatan identitas, karena memakai longyi aku dianggap sama dengan mereka.
“Kamu bisa memasukkan uangmu ke kotak amal, nanti di atas ada banyak,” kata Kyaw.

Awalnya aku harus mengangkat longyiku agar ujung-ujungnya tidak terinjak saat menaiki tangga, namun setelah beberapa langkah ke atas, aku jadi terbiasa.

Tanganku sulit kutahan untuk tidak menggandeng lengan Kyaw sambil menapaki tangga menuju platformnya. Mungkin Kyaw merasakan hal yang sama. Tangan kami saling meraih. Semacam sengatan listrik lembut dan hangat menjalar pelan dari tanganku, menyusuri entah pembuluh darah atau permukaan kulit atau otot-ototku, menyebar ke mana-mana. Jantungku jadi bekerja lebih giat, bukan hanya karena menaiki tangga, juga dirangsang oleh getaran nikmat yang merasuki tiap sel di tubuhku. Aku merayakan perasaanku dengan khidmat, bercampur sedikit khawatir.

Sudah lama aku menunggu dirasuki perasaan semacam ini. Perasaan luar biasa, antara bahagia, damai, suka-cita, dan terpesona. Mungkin perasaan semacam ini yang ditimbulkan oleh opium, marijuana dan sejenisnya, membuat orang ingin selalu tersenyum, enteng, lupa pada hal-hal menyedihkan. Aku agak ngos-ngosan bukan kehabisan nafas, namun akibat campuran rasa seperti yang aku ungkapkan tadi, yang kata-kata gagal mewakili.

Kami menaiki tangga tanpa bicara. Mungkin dengan caranya sendiri – harapanku – Kyaw juga menikmati belitan rasa yang melenakan itu. Ia berhenti begitu kaki kami menginjak platform, lalu mulai bercerita. Dengan berat hati tanganku kulepaskan dari tangannya.

“Pagoda ini sudah berusia lebih dari 2.500 tahun. Pada mulanya hanya setinggi 8 meter. Sekarang jadi 110 meter. Stupanya saja 99 meter. Setelah peristiwa 8888, pemerintah melarang umat Budha merayakan Festival Pagoda Shwedagon. Tapi tahun ini sudah diadakan lagi. Festival ini dilaksanakan tepat pada bulan baru, bulan Tabaung, sesuai penanggalan tradisional Burma. Jatuh pada Februari – Maret. Kalender kami berdasarkan bulan, seperti kalender Jawa dan Islam. Ya?” Kyaw menurunkan pandangannya dari pucuk stupa ke wajahku.

Pagoda terbesar di dunia ini berdiri megah di atas area seluas kira-kira 46 hektar. Para demonstran sering berkumpul di kawasan suci ini untuk mengawali protes-protes pada pemerintah yang represif. Pelarangan diadakannya festival pagoda oleh pemerintah selama 24 tahun salah satunya karena alasan itu.

Pesona stupa berlapis lempengan emas murni ini menyergapku. Mataku melahap bangunan monumental itu dari bawah hingga ke ujungnya. Cahaya senja kala dari barat membuat lapisan emasnya makin berkilau, bias-biasnya menghangatkan plaza yang mengelilinginya.
“Pucuk stupanya bertahtakan lebih dari 5 ribu berlian dan 2 ribu batu rubi; pada pucuknya yang mirip ujung tombak itu berhiaskan berlian senilai 72 carat,” jelas Kyaw. Dari platform ini mataku bebas menikmati keelokan itu.

Melihat banyaknya umat Budha yang memenuhi plaza, bersujud dan berdoa dengan khusyuk, menyalakan lilin, menyembah, serta memandikan patung-patung Budha kecil di sekeliling pagoda utama, pikiranku melayang pada Ka’bah. Bila orang telah percaya pada Sang Maha Besar, ia akan sepenuh hati-jiwa menyerahkan dirinya. Ironisnya, di antara kekhusyukanku memikirkan Tuhan, dalam gelimang cahaya keemasan yang diperindah oleh bias-bias matahari senja, aku teringat pada mega shopping mall di seluruh dunia.

Monday, January 14, 2013

Buku "Laskar Pelangi" Versi Vietnam Dicetak Ulang

AppId is over the quota

JAKARTA, KOMPAS.com- Batch pertama Laskar Pelangi versi bahasa Vietnam sebanyak 2.000 buku terjual habis hingga akhir 2012. Melihat animo pasar di Vietnam, buku tersebut kini dicetak ulang.

Demikian rilis KJRI Ho Chi Minh City setelah memperoleh konfirmasi dari Humas perusahaan penerbit buku Hoi Nha Van yang mulai memasarkan Laskar Pelangi versi Vietnam pada Juli 2012, seperti tertuang dalam siaran pers Rabu (9/1/2013).

Bahasa Vietnam menjadi bahasa ke-30 terjemahan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Prestasi ini menempatkannya sebagai penulis Indonesia kedua yang karyanya mendunia.

Sebelumnya, sastrawan Indonesia Pramoediya Ananta Toer dengan Bumi Manusia-nya telah diterbitkan dalam 33 bahasa dunia. Pramoedya merupakan sastrawan dari ASEAN yang diunggulkan sebagai kandidat penerima Nobel Sastra. Sementara Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi merupakan penulis Indonesia pertama yang karyanya diterbitkan oleh Farrar, Straus and Giroux (FSG), penerbit buku karya penulis pemenang Nobel, Pulitzer, dan berbagai penghargaan kelas dunia lainnya.

FSG tidak hanya menerbitkan Laskar Pelangi, namun juga melakukan perbaikan terhadap tampilan depan sampul novel Laskar Pelangi. Pekerjaan yang melibatkan sosiolog dan antropolog kenamaan Amerika Serikat ikut menyaring sampul depan tersebut.

FSG menginginkan sampul novel karyanya seperti sampul depan novel-novel karya para pemenang Nobel seperti Pablo Neruda, T.S. Elliot, dan Nadine Gordimer, Seamus Heaney, dan Mario Vargas Llosa yang mendapat nobel sastra tahun 2010.

Hasilnya, sampul novel versi international FSG memperlihatkan kedalaman budaya dari tampilannya. Sampul Laskar Pelangi versi FSG ini memberi pelajaran berharga bagi Andrea tentang bagaimana lebih memahami filosofi sampul depan sebuah novel.

Sukses Laskar Pelangi di ranah sastra terus bergulir, Andrea Hirata diundang untuk menjadi salah satu panelis bersama pemenang Pulitzer, Katherine Boo pada acara Byron Bay Writers' Festival ke-16 di Australia.

Novel Laskar Pelangi juga telah menjadi referensi untuk studi sastra dan budaya di beberapa universitas di Australia. Sumbangan keberhasilan Laskar Pelangi tidak semata pada ranah satra, namun juga pada sektor pariwisata. Sejak Laskar Pelangi meledak di pasaran, sektor pariwisata di Belitung meningkat tajam.

Lelaki Berlongyi Biru - 15

AppId is over the quota

Cerber Endah Raharjo

Orang mendatangi mal-mal, mengelilinginya dengan takzim, untuk memuja benda-benda, menyerahkan segalanya demi memperoleh barang-barang itu. Amboi, Tuhan, manusia hanyalah satu dari isi alam raya, ada buruk ada baik, ada ujung ada pangkal, ada datang ada pergi, ada awal ada akhir, serupa siang dan malam, tak penat berkejaran, tak pernah bersilangan, saling melengkapi juga saling meniadakan.

“Bree.” Kyaw menyentuh pundakku hati-hati. Aku tersadar dari ketepekuranku.
“Indah sekali.”
“Sebentar lagi matahari tenggelam,” ujarnya, menghadap ke barat. “Kamu lupa membawa kamera?”
“Oh!” Buru-buru kukeluarkan kamera dari ransel kecil. Kyaw membiarkanku mengambil foto sementara ia menyalakan lilin dan dupa untuk mengawali doa. Kuambil beberapa fotonya tengah khusyuk berdoa, bersimpuh bersama beberapa orang. Kulihat sesekali ia menyembah.
“Mau menyirami patung Budha?” Kyaw melihat salah satu patung Budha yang diletakkan di atas petilasan bulat berdiameter antara 1 sampai 1,5 meter, setinggi 1 meter. Tiap-tiap petilasan dikerumuni dua sampai enam orang. Kyaw menunjuk salah satu yang kosong, beberapa langkah ke kiri dari tempat kami berdiri.

“Apa boleh?”
“Tidak ada yang melarang,” Kyaw tersenyum.

Kami melangkah melewati pagar setinggi sekitar 70 cm, pembatas plaza dengan deretan petilasan dan patung-patung budha kecil yang mengelilingi stupa utama. Di pagar itu pula ditata tempat-tempat lilin dan dupa.

“Apa aku boleh sekalian berwudlu?” tanyaku. Aku membawa mukena di ranselku, namun aku tidak tahu dimana bisa sembahyang maghrib.
“Ya?” Kyaw tidak paham. Lalu kujelaskan bahwa aku perlu sembahyang dan perlu bersuci dulu. “Oh? Mungkin bisa di sini, kalau tidak masalah buatmu.”
“It’s okay. I think.” Aku mengangkat bahu. Pelan-pelan aku berwudlu, memakai air yang sama dengan yang dipakai Kyaw memandikan patung Budha. Ekor mataku melihat dua orang wisatawan kulit putih mengamatiku, lalu mengambil fotoku. Kyaw juga mengikuti setiap gerakanku.
“So, you’re clean now?”
“Ya. Bisakah kita cari tempat yang agak sepi?”
“Tempat seperti apa yang kamu perlukan?”
“Di mana saja, yang penting bersih. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian. Aku harus memakai ini,” kutunjukkan mukenaku. “Apa dilarang?”
“Kupikir tidak akan ada yang melarang. Ikuti aku,” Kyaw berjalan ke kiri, menjauh dari stupa dan deretan patung-patung Budha. Kami menemukan tempat yang cukup sepi, di balik salah satu bangunan tempat orang duduk-duduk. “Di sini bisa?”
“Ya, Terima kasih. Kamu akan mengawasi di sini?”
“Tentu saja.” Kyaw lalu duduk bersila. Meskipun aku tidak melihat, aku tahu ia mengamatiku dengan takjub, mulai dari saat aku menggelar sajadah, mengenakan mukena yang bisa dilipat jadi buntalan cantik mungil itu, melakukan takbir pertamaku, hingga mengucap salam.
“Wow! It’s a privilege to see you doing your prayer,” ucapnya setelah aku melepas mukenaku.
“Terima kasih sudah mengijinkanku berdoa di pagodamu.”
“That’s an interesting attire. May I touch it?”

Mukena itu kuberikan padanya. “Kami memakai ini kalau sedang di perjalanan. Praktis. Aku punya banyak mukena semacam ini. Ada yang dari sutera dengan hiasan bordir, biasanya kupakai saat hari raya,” lalu kujelaskan perkara mukena itu sambil melipat sajadah. Ia mengucapkan ‘mukena’ dengan fasih.

Sebelumnya aku tak pernah mengulurkan tanganku pada lelaki selain Papa dan tiga kakakku. Namun untuk kedua kalinya aku melakukannya pada Kyaw, dan ia menyambut begitu saja, sepertinya memang itulah yang seharusnya kami lakukan.

Tangannya menggenggam tanganku. Bahagia itu mungkin semacam yang tengah aku rasakan ini: ringan namun penuh terisi, manis, damai, dan hangat.

Kami berjalan lambat-lambat mengelilingi pagoda, searah jarum jam, seperti semua pengunjung lainnya. Setelah beberapa meter tanganku kutarik pelan-pelan lepas dari tangannya. Aku ingat pernah membaca artikel yang menyatakan kalau laki-laki dan perempuan Myanmar jarang menunjukkan kemesraan di muka umum, terlebih di kompleks pagoda. Yang kami lakukan – aku sebanarnya merasa tidak berhak mewakili isi pikiran Kyaw – adalah naluri spontan. Kyaw mungkin tidak lagi sensitif terhadap hal-hal semacam itu, ia lama tinggal di Vancouver, Kanada.

Jemek Supardi Pimpin Kirab Gunungan Salak

AppId is over the quota

SLEMAN, KOMPAS.com--Pantomimer Yogyakarta Jemek Supardi, Jumat, memimpin kirab budaya "Gunungan Salak" di Desa Tunggularum, Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan mengenakan kostum tokoh wayang orang Hanoman, Jemek Supardi berada di paling depan rombongan kirab budaya konservasi "Gunungan Salak" yang diikuti bregodo butho (raksasa), topeng ireng dan jathilan serta hewan yang ada di kawasan lereng Gunung Merapi, seperti monyet, sapi serta harimau.

Selain sebagai wujud rasa syukur warga atas panen musim salak tahun ini, dalam kirab budaya  itu juga dilakukan penanaman bibit pohon di kawasan dampak erupsi Merapi yang digunakan sebagai "Early Warning System" (EWS) alami.

Gunungan yang terbuat dari ribuan buah salak tersebut diarak dari Sekolah Desa Siaga Bencana yang merupakan sekolah untuk menghadapi bencana erupsi Merapi, menuju ke Tanggul Lawas Sungai Mbedok yang berjarak sekitar setengah kilometer.

Kepala Sekolah Desa Siaga Bencana Tunggularum Tomon Haryo Wibosono mengatakan, Sungai Mbedok merupakan pecahan dari Sungai Krasak yang merupakan salah satu jalur aliran lahar Gunung Merapi.

"Dalam penanaman bibit pohon di pinggiran sungai, yang difungsikan untuk EWS bagi warga setempat, dimaksudkan ketika pohon itu besar akan muncul kehidupan bagi para hewan Merapi. Bibit pohon yang ditanam sendiri, berupa pohon kemenyan, mahoni, bambu, turi," katanya.

Menurut dia, ketika Gunung Merapi akan terjadi erupsi, hewan-hewan Merapi lebih dulu turun dari gunung dan dapat sebagai peringatan bagi warga setempat untuk segera mengungsi.

Salah satu pendamping masyarakat dalam konservasi lereng Gunung Merapi Joko Supriyadi mengatakan, warga setempat sadar bahwa mereka tinggal di daerah rawan bencana.

"Dengan Sekolah Desa Siaga Bencana, diharapkan dapat menekankan pengurangan risiko bencana erupsi Gunung Merapi," katanya.

Sunday, January 13, 2013

Anak Indonesia Hadiri Pesta Anak di London

AppId is over the quota

LONDON, KOMPAS.com--Dua  orang anak Indonesia dengan mengenakan busana tradisional bergabung bersama sekitar 350 anak dengan mengenakan "fancy dress party" dari seluruh Boroughs dan perwakilan asing di London.

Kehadiran anak Indonesia itu mewarnai acara "The Lord Mayor’s Children Party"  yang diadakan di kediaman Wali Kota London, Mansion House, London.

Kedua anak Indonesia itu putra dan putri home staff KBRI London didampingi Dubes RI untuk Kerajaan Inggris Raya dan Republik Irlandia Hamzah Thayeb dalam acara yang diadakan Lord Mayor Roger Gifford dan Lady Mayoress Clare Gifford, kata Sekretaris Pertama Pensosbud KBRI London, Heni Hamidah kepada Antara London, Rabu.

Dikatakannya acara tersebut selain sebagai wahana bermain dan menambah pengetahuan bagi anak-anak juga sangat bermanfaat dalam memperkenalkan sejak dini keanekaragaman budaya dan bangsa.

Lord Mayor Roger Gifford dan Lady Mayoress Clare Gifford sebagai tuan rumah menyambut kehadiran anak-anak di State room  dan di Egyptian Hall,  ruangan megah di Mansion House yang biasa digunakan Walikota London menyambut tamu negara, politisi, pengusaha dan  tamu penting lainnya.

Dalam sambutannya Lord Mayor Roger Gifford mengatakan,  salah satu tujuan dari penyelenggaraan children party ini adalah agar anak-anak dapat mengetahui dan mengenal  para Lord Mayor sebelumnya dan mengenal anak-anak dari berbagai negara.

Ia juga menyampaikan  bahwa tugasnya sebagai walikota menuntut untuk selalu tampil rapi dan serius dalam menjalankan tugas sehari-hari.

Merupakan kesempatan yang sangat langka dan menggembirakan dapat berkumpul bersama anak-anak dari berbagai negara serta menyaksikan beranekaragamnya kostum-kostum menarik yang mereka pakai, ujarnya.

Mansion House yang sehari-hari menjadi tempat kegiatan resmi walikota London, pada sore itu digantikan dengan ramainya suara riang anak-anak yang tengah menikmati berbagai permainan, musik,  dan berbagai acara yang telah disiapkan untuk memeriahkan pesta tersebut.

Lord Mayor Roger Gifford ikut berpartisipasi dalam  Grand Conga yang diikuti oleh seluruh anak-anak yang mewakili  Borough yang ada di London diminta untuk menominasikan dua orang anak berusia antara tujuh dan  11 tahun.

Indonesia untuk pertama kalinya turut berpartisipasi dengan menominasikan dua  orang anak yang merupakan putra dan putri home staff KBRI London  langsung didampingi Dubes Hamzah Thayeb  selain sebagai wahana bermain dan menambah pengetahuan bagi anak-anak juga sangat bermanfaat dalam memperkenalkan sejak dini keanekaragaman budaya dan bangsa.

"Gending Sriwijaya" Tayang di Palembang

AppId is over the quota

PALEMBANG, KOMPAS.com--Film Gending Sriwijaya produksi pemerintah Provinsi Sumatera Selatan tayang perdana di salah satu bioskop di Palembang, Selasa. Film yang menceritakan tentang kerajaan Kedatuan Bukit Jerai.

Film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu antara lain dibintangi Julia Perez yang berperan sebagai Malini, Sahrul Gunawan (Purnama Kelana), Agus Koncoro (Sru Dija), Mathias Muchus (Ki Gobleg), Slamet Rahardjo (Mahawangsa) dan Jajang C Noor (Ratu Kalimanyang) serta Anwar Fuady (Sabri).

Film yang berdurasi lebih dari satu jam itu kebanyakan mengambil lokasi di Jakarta serta Kabupaten Lahat, Sumsel.

Menurut Bramantyo, film tersebut dibuat secara kolosal sehingga banyak mengikutsertakan pemain lokal. Film tersebut tidak lain untuk mempromosikan pariwisata di Sumsel

Oleh karena itu film tersebut banyak mengambil lokasi di Lahat karena di kabupaten tersebut terdapat Bukit Jempol atau Bukit Serelo.

Gubernur Sumatera Selatan, H Alex Noerdin, mengatakan, film ini mengangkat suatu pemimpin yang dicintai masyarakat. Jadi bila pemimpin jujur maka merekalah yang menjadi pemenang dalam perebutan kekuasan tersebut, kata gubernur.

Sementara Perez mengatakan, pihaknya sebelumnya ditawari untuk main film tersebut.

Namun, ujar dia, setelah melihat isi cerita pihaknya setuju karena adengannya sangat menantang. Dalam medukung film tersebut supaya sukses dirinya belajar bahas daerah yakni Lahat selama satu bulan, kata dia.

"Pokoknya film itu menantang dan sangat bagus disaksikan," kata dia.

Saturday, January 12, 2013

Nyadran Kali untuk Air Mengalir

AppId is over the quota

Kicauan burung bangkak, pleci, dan jalak watu bersahut-sahutan sambil berseliweran di atas pepohonan rimbun seakan menimpali tabuhan musik "truntung" oleh puluhan warga lereng Gunung Merbabu yang menyusuri jalan setapak menuju mata air Kali Puyam.

Kaum Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Muhadi (65) bersandal jepit dengan serampat warna biru sudah kusam dan mengenakan jas, celana panjang, serta peci serba warna hitam, memimpin warga setempat menjalani tradisi Nyadran Kali di sumber air dekat aliran Sungai Puyam di kawasan barat lereng Gunung Merbabu.

Tradisi mereka setiap tahun berlangsung bertepatan dengan perhitungan kalender Jawa, pasaran Kliwon, setelah pertengahan bulan Sapar. Pada tahun 2013, tradisi itu bertepatan dengan Minggu (6/1).

Letak mata air yang dipercaya warga ditunggu pepunden yang mereka sebut sebagai Kanjeng Sunan Aji itu, di Dusun Jamusan, Desa Gumelem, Kecamatan Pakis, sekitar 2,5 kilometer dari Dusun Warangan. Mata air itu juga disebut dengan Tuk Jamus.

Sejak 1978, air dari sumber itu disalurkan menggunakan pipa paralon oleh masyarakat setempat menuju dusunnya guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik rumah tangga maupun pertanian.

Di berbagai tempat di Dusun Warangan telah dibangun 13 bak penampungan air untuk selanjutnya mereka menyalurkan air tersebut menggunakan pipa paralon ke rumah masing-masing. Warga Warangan saat ini berjumlah 155 kepala keluarga atau sekitar 600 jiwa.

"Yang kami anggap aneh itu, air dari mata air Kali Puyam hanya mengalir untuk dusun kami. Kalau untuk dusun di bawah Warangan, alirannya sudah mati, kalau dipakai untuk warga dusun di atas tempat kami, airnya tidak bisa matang kalau dimasak," kata pemimpin komunitas seniman petani setempat yang tergabung dalam Sanggar Warangan Merbabu, Handoko.

Sebagai upaya pelestarian sumber air Kali Puyam itu, para sesepuh dusun merintis tradisi ritual di tempat itu setahun sekali, dilanjutkan dengan pentas berbagai kesenian tradisional di dusun setempat.

Beberapa kesenian tradisional yang mereka pentaskan di pekarangan rumah warga setempat, Giarto, sebagai rangkaian tradisi Nyadran Kali pada tahun 2013, antara lain, tarian "Warok Cilik" (Dusun Warangan), "Warok Tuwa" dan "Topeng Ireng Ehem" (Sanggrahan), serta "Topeng Ireng", masing-masing dari grup kesenian Cipto Kawedar Dusun Ngaran, Borobudur dan Sanggar Warangan Merbabu.

Sekitar seminggu sebelum jatuh hari "H" pelaksanaan tradisi itu, warga bergotong royong membersihkan bak air, baik di tempat utama di sumber air Kali Puyam dan lingkungan sekitarnya maupun di berbagai bak penampungan di dusun setempat.

Pada Minggu (6/1) pagi, mereka juga harus bergegas bergotong royong menyingkirkan tanah dari beberapa lokasi di sepanjang jalan menuju Kali Puyam. Tanah itu longsor akibat hujan deras mengguyur kawasan setempat pada Sabtu (5/1) sore hingga malam hari.

Kerja bakti mereka jalani secara cepat agar prosesi tradisi ritual mereka tetap bisa berjalan dengan lancar.

Mereka yang menjalani tradisi ritual itu berjumlah puluhan orang, dengan masing-masing mengenakan pakaian tampak rapi, termasuk Kepala Dusun (Bayan) Warangan, Ismadi.

Selain itu, para penari soreng dan penabuh musik kontemporer gunung "truntung" yang menjadi kesenian tradisional warga setempat juga menyertai prosesi tersebut.

Seorang warga setempat, Wardoyo, berjalan sambil menyunggi tenong berisi sesaji, sedangkan seorang lainnya yang bersurjan motif lurik, Slamet, menggendong tenggok dengan selendang. Tenggok kecil itu berisi nasi tumpeng. Kedua warga itu berjalan paling depan dengan, mengapit langkah Muhadi menuju mata air Kali Puyam.

Berbagai sesaji itu ditata di beberapa lembar daun pisang di atas ancak yang diletakkan di bawah batu besar mata air tersebut. Sesaji tersebut antara lain bunga mawar warna merah dan putih, tembakau, kemenyan, nasi tumpeng, ingkung, lauk pauk seperti tahu, tempe, dan kerupuk.

Suara gemericik air Kali Puyam dengan bebatuannya terdengar tiada henti, seakan turut memainkan irama dirinya sebagai pengiring prosesi ritual. Seorang perempuan tua berpakaian kebaya membasuh muka dengan air yang mengalir dari sumber itu, selama beberapa saat, diikuti para warga lainnya.

Muhadi yang telah membakar kemenyan di tempat itu kemudian memulai membacakan doa-doa dalam bahasa Jawa.

"’Dupa gandaning sekar, tumpeng agung potong ayam, sapangabekti ingkang jogo rumeksa ing lepen mriki, utawi kanthi caos pangabekti ingkang kagungan tuk mriki. Kangge Bapak Bayan sak kulawarga, kangge masyarakat ing Warangan, mugi-mugi toya tuk suci sageta lancar kaginaaken masyarakat, sageta kaparingan awet’," kata Muhadi ketika mengucapkan kalimat doanya.

Maksud kalimat berbahasa Jawa itu kira-kira, warga memberikan berbagai sesaji kepada penjaga sumber air Kali Puyam, agar kepala dusun dan masyarakat Warangan bisa memanfaatkan air dengan alirannya yang lancar dari tempat itu untuk kepentingan sehari-hari.

Pada kesempatan itu Muhadi juga mengajak warga berdoa agar masyarakat Warangan hidup tenteram dan damai, bebas dari berbagai musibah, serta menjalani kehidupan sehari-hari sebagai petani. Kawasan pertanian setempat dimanfaatkan masyarakat untuk budi daya berbagai jenis hortikultura.

"’Mugi-mugi anggenipun among tani, diparingana werdi jati ketelesan, teteg kangge napaki keluarganipun’," katanya yang maksudnya sebagai harapan agar petani setempat mengolah lahannya dengan air yang cukup dan panen melimpah untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Mereka yang mengikuti ritual itu pun sambil mengangkat kedua tangan masing-masing, secara serempak mengucapkan kata,"Amin".

Kesan sukacita dan kelegaan hati setiap warga setelah menjalani tradisi itu, selain terwujud dalam santap makan bersama disusul pementasan tarian soreng di bawah batu besar, sumber air Kali Puyam, juga tergambar melalui pembacaan puisi tiga bait bertajuk "Kali Puyam" oleh penyair Magelang, E.S. Wibowo.

"Jembatan batin Kali Puyam, kaki Merbabu pagi temaram. Air mata perihku meleleh, menangisi batu-batu gunung yang tersingkir sejarah agung. Kemudian, Kali Sleri berbisik ’Jangan berduka, Puyam’. Lalu, kuusap air mata dengan daun salam," demikian penggalan bait puisi yang dibuat penyairnya pagi itu dan dibacakan di mata air Kali Puyam.

Bangun Pagi

AppId is over the quota

Cerpen Alex R. Nainggolan

Bangun pagi. Sinar matahari. Dingin. Hari-hari berlalu seperti biasa. Hidup yang rutin. Orang-orang bergegas, menggapai mimpi. Suara kendaraan. Orang-orang berjejalan di jalan-jalan.

“Sudah pagi, bangun dong, sayang. Katanya, mau pergi ke kantor pagi-pagi.”
“Sudah pagi?”
“Tuh,” perempuan dengan mata indah itu menudingkan telunjuk ke arah jendela. Dahulu, saat masih remaja ia gemar berlama-lama di tepi jendela. Mengharapkan lelaki. Menunggu seorang pangeran datang menjemput. Memberi ciuman di mulut, setiap pagi. Membuatnya terbang ke atas kabut. Sambil membangunkan laki-laki itu, kemudian menyeduhkan segelas kopi, membawa sepotong handuk, menyuruh lelaki itu segera ke kamar mandi.
Kini, lelaki itu memang telah di sisinya, tidur satu ranjang dengannya. Memeluk tubuhnya saat hujan deras merambatkan dinginnya ke dalam kamar.
“Ayo, dong bangun. Sudah pagi, nanti telat lagi, loh!”
Lelaki itu melirik manja. Minta sesuatu.
“Bangun pagi??”
“Iya, wake up, mister!”
“Don’t you give me a little kiss..?”
Muah.
“Just like that?”
“It doesn’t enough”
“What about big kiss?”
“Ehm..big kiss. Like this..”
“Yeah…”
Mmmmuuuuaaaahhh…
Ada yang bangun, di pagi ini. Di bawah pusar lelaki.
“Ayo dong, bangun. Sudah pagi. Nanti terjebak macet lagi. Kan nggak enak hamper tiap hari kau terlambat.”
“Ini udah bangun.”
“Belum, kau bohong!”
“Sudah. Tidak percaya?”
”Mana?”
“Di sini,” sembari menudingkan jari telunjuk ke arah bawah pusar.
“Ih, nakal. Mulai bandel, ya…”
“Siapa yang ngajarin?”
“Kamu.”
“Nakal.”
“Sama kayak kamu.”
Mereka berciuman lagi. Pagi memang masih dingin.
“Udah, ah…nanti aja kalau pas kamu pulang kerja.”
“Bangunnya sekarang,”
“Kamu yang minta bangunin,”
“O, ya?”
“Iya, tadi malam. Katanya, Ma, besok bangunin pagi-pagi, ya. Gitu loh.”
“O, ya,” si lelaki meraih pundak istrinya. Mereka larut. Dalam kembaranya lelaki itu sempat bertanya dalam hati: sudah seberapa lama aku benar-benar mengenal dirinya? Apakah aku betul-betul telah memahami apa isi hatinya? Yang pernah tersirat dari balik mata beningnya yang demikian indah. Adalah dirinya yang memaksanya bertahan untuk tetap berdiam di atas ranjang.
“Ayo, dong. Bangun! Udah pagi, nih…”
“Sebentar lagi, nanggung nih. Abis kau bangunin yang lain sih,”
Hari sudah terang. Tak kedengaran lagi kokok ayam jantan. Cuma riuh suara percakapan, menembus halaman rumah.
“Aku akan buatkan yang special today. Tapi bangun dulu dong,”
“Kesini,” si lelaki menarik lengannya kembali.
“Nggak mau, ah. Kamu mulai nakal sekarang.”
“Emangnya nakal sama kamu nggak boleh?”
“Jangan banyak-banyak dong.”

Cahaya pagi menetes rendah di sela-sela ruangan. Si perempuan kembali beranjak. Mengingat-ingat, betapa bahagia ia memunyai suami yang teramat menyayanginya. Tak ada yang berubah. Lelaki yang selalu membuatnya selalu merasa remaja.
“Kamu juga ngantor, Ma?”

Ia mengangguk. Ia masih merasa jika lelaki itu masih terasa tampan, masih selalu memenuhi semua sudut dalam rongga hatinya. Lelaki yang selalu ia tunggu, dahulu, di muka jendela. Lelaki yang sampai sekarang masih sering membuatnya hatinya berdegup, saat mendengar kata: sayang dari selusup bibirnya.

“Ya, udah, kita mandi bareng. Abis sudah bangun sih,”
Si perempuan tertawa geli.
“Kenapa tertawa.”
“Yang dibangunin itu, bukan yang anu. Tetapi kamu keseluruhannya.”
“Ini sudah bangun,” lelaki itu telanjang. Berdiri menuju kamar mandi, sambil menyambar handuk yang digantungkan oleh si perempuan di pinggir ranjang.
“Bener nih, nggak mau mandi bareng.”

Si lelaki masuk ke kamar mandi. Bersiul-siul sesuai irama lagu Bangun Tidur: bangun tidur kuterus mandi/tidak lupa menggosok gigi/abis mandi/…

Pasangan itu kembali terlontar ke masa kecil. Masa yang penuh dengan kenangan manis. Masa yang selalu menancapkan jejak kuat dalam tungkai ingatan mereka. Kemudian remaja, menamatkan sekolah, mendapatkan gelar, mencari pekerjaan, menikah, memunyai anak (ups, tunggu dulu. Ini mereka belum punya. Tepatnya belum diberikan kepercayaan Tuhan. Meskipun mereka berdua telah memeriksakan kepada ahli kelamin dan kandungan bila sebenarnya mereka bisa memiliki keturunan. Mungkin, belum digariskan oleh Tuhan), lalu tua. Sesuai dengan trilogi hidup yang paling enak: kecil disuka, muda terkenal, tua kaya-raya, mati masuk sorga. Si perempuan melamun, baru-baru ini ia membaca sebuah artikel di koran, tulisan yang terlampau ngejelimet, berbau filsafat, mirip dengan judul lagu: Jika sorga & neraka tak pernah ada *. Ia kembali termenung.

Suara air di kamar mandi. Pagi masih membelah, turun di sebuah kota. Cahaya matahari dengan lembut melemparkan jejaringnya ke seluruh sudut. Suara siulan si lelaki, siulan yang tak begitu merdu, namun mampu membuat si perempuan tersenyum.

Si lelaki keluar dari kamar mandi. Dengan tubuh yang tak sepenuhnya kering. Dengan sepotong handuk yang dililitkan dari pinggang sampai ke arah paha. Perempuan itu bergumam, “Duh, seksinya lelakiku!”
“Udah mandinya. Udah bangunnya.”
“Kamu, sih yang bangunin.”
Lelaki itu mengenakan pakaian. Bersiap-siap untuk sarapan. Ia melirik kea rah istrinya yang menuju ke kamar mandi, “Kamu bangun juga nggak, Ma?”
“Apanya?”
Si lelaki mengikuti ke dalam kamar mandi.
“Nanti basah, telat ke kantor, dimarahin sama atasan. Nanti aku juga yang kena kesalahan. Nanti aja pas pulang kantor. Aku juga mau berangkat, kita bareng jalannya.”
“Biarin. Abis…”si lelaki mengunci bibir perempuan itu dengan telunjuk kanannya. Kemudian merengkuhnya.

Dalam napas yang terengah-engah, suara air kamar mandi yang mengalir. Suara kendaraan yang menembus kebisingan ruangan si pereempuan berujar, “Apa?”
“Terlanjur bangun pagi.”
Pagi sudah terbangun di kota itu.

Jakarta, Minggu, 5 Februari 2005

Catatan:
* sebuah judul lagu yang dinyanyikan Chrisye & Dhani Ahmad

Tentang Alex R. Nainggolan

Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, NOVA, On/Off, dll.
Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila.
Beberapa karyanya juga termuat dalam antologi Ini Sirkus Senyum...(Bumi Manusia, 2002), Elegi Gerimis Pagi (KSI, 2002), Grafitti Imaji (YMS, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (KOMPAS, 2003), Muli (DKL, 2003), Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama (CWI, Depdiknas, 2004), La Runduma (CWI & Menpora RI, 2005), 5,9 Skala Ritcher (KSI & Bentang Pustaka, 2006).
Beberapa kali memenangkan lomba penulisan artikel, sajak, cerpen, karya ilmiah terakhir di Radar Lampung  (Juara III, 2003), Majalah Sagang-Riau (Juara I, 2003), Juara III Lomba Penulisan cerpen se-SumbagSel yang digelar ROIS FE Unila (2004), nominasi Festival Kreativitas Pemuda yang digelar CWI Jakarta(2004 & 2005).

Paduan Ragam dalam "Sembang Bunyi 12"

AppId is over the quota

PEKANBARU, KOMPAS.com--Orkestra Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) menyajikan beragam genre musik, dari musik klasik, jazz hingga Melayu, dalam konser bertajuk "Sembang Bunyi 12" di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Senin (7/1) malam.

Dengan arahan konduktor Arman Rambah, orkestra yang terdiri atas anak-anak muda itu memukau sekitar seratus pengunjung konser dengan 12 lagu dari beragam genre musik.

Mereka membuka pagelaran dengan klasik "Eine Kleine Nachtmusik" karya Wolfgang Amadeus Mozart. Mereka juga menyuguhkan lagu Melayu lama seperti "Seroja" dan "Pantai Solop."

Dalam pertunjukan itu Orkestra STSR juga berkolaborasi dengan sejumlah band dari aliran berbeda seperti Bujanggi dan Belacan Aromatic. Mereka mengiringi kedua band itu tampil.

Bujanggi tampil memadukan musik Melayu, klasik, dan jazz saat membawakan lagu berjudul "Damak" dan "Sendalu".

Sementara Belacan Aromatic menghentak dengan memainkan alat musik tradisional gambus dan memainkan dua lagu ciptaan sendiri yang berjudul "Jelatik" dan "Cabuh".

"Kami mengangkat budaya musik Melayu Zapin yang mendayu yang jadi lebih menghentak dengan paduan musik rock," kata pemimpin grup Belacan Aromatic, Mat Rock.

Konser yang berlangsung sekitar dua jam itu ditutup dengan lagu rentak Melayu "Joget Perpisahan". Pengunjung pun pulang dengan hati terhibur.

Rahmat Andika (30) menyukai konser itu dan berharap pertunjukan serupa lebih sering digelar di Kota Pekanbaru. "Dan akan lebih bagus lagi kalau tata lampu pertunjukan lebih terang dan meriah," katanya.

Friday, January 11, 2013

Festival Sinema Perancis Digelar di Bandung

AppId is over the quota

BANDUNG,KOMPAS.com- Setelah diselenggarakan di Jakarta dan Bali Desember 2012 lalu, Festival Sinema Perancis melakukan turnya di Bandung 14-20 Januari 2013 yang dipusatkan di Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung, Jl Purnawarman 32 Kota Bandung.

Penanggung Jawab Media IFI Bandung Abu Bukarhasyab, Rabu (9/1/2013), menjelaskan, festival yang digagas 1996 ini adalah festival sinema asing pertama di Indonesia. Festival ini merupakan jembatan penting yang menghubungkan sinema Prancis dengan masyarakat Indonesia. Tahun ini Festival Sinema Prancis menetapkan visinya membangun program yang berkelanjutan.

Diawali berbagai program sejak awal tahun, bekerjasama dengan berbagai pihak di Indonesia untuk program sinema, program bantuan film, dan sebagainya, hingga menghadirkan program festival yang memberikan warna bagi sinema di Indonesia.

Festival Sinema Prancis mengalami transformasi dalam perjalanannya, sebagai sebuah dinamisasi, membaca perubahan dan perkembangan sinema baik di Perancis maupun Indonesia. Selalu mencari ikatan kuat antara festival dengan publiknya, melakukan dialog dua arah untuk membangun komunikasi yang berkelanjutan.

Berikut adalah jadwal acaranya:

* 14 - 17 Januari 2013: Retrospektif Olivier Assayas: pemutaran film
* 18 Januari 2013: Pemutaran 10 film pendek Kompetisi Film Pendek Nasional
* 19 - 20 Januari 2013

Ananda Sukarlan Jadi Teladan Musisi Indonesia

AppId is over the quota

JAKARTA, KOMPAS.com - Pianis dan komponis Ananda Sukarlan mendapat penghargaan "Leading by Example" (Memimpin berdasarkan teladan). Penghargaan  ini diberikan oleh pendiri Vienna Music, Cecilia Sutisna, untuk hasil kerja keras serta kepribadian Ananda Sukarlan yang dinilainya patut menjadi contoh generasi muda musikus Indonesia, terutama genre klasik, atau yang Ananda selalu sebut "musik sastra".

Hasil karya Ananda kini telah menjadi bagian kehidupan para musikus, bukan saja di Indonesia, tetapi di banyak negara Eropa. Ananda telah membuktikan bahwa ia mampu meraih kesuksesan dari nol, lahir dari keluarga sederhana dengan pendidikan yang keras dan menjunjung tinggi kejujuran. 

Selain Ananda, Vienna Music juga memberi penghargaan "Lifetime Achievement Awards" kepada tokoh-tokoh musik alm. Yazeed Djamin (komponis), alm. Hendra Wijaya (pianis jazz), serta pengajar piano paling senior di Indonesia, Latifah Kodijat yang kini berusia 85 tahun.

Semua penghargaan tersebut akan diserahkan di konser perayaan ulang tahun ke-30 Vienna Music yang akan diadakan di Erasmus Huis, Jakarta, pada Sabtu (12/1/ 2013), mulai pukul 16.00.

Pada kesempatan tersebut, para pemenang Award juga akan ikut berpartisipasi sebagai pemberi motivasi para siswa Vienna Music, dan ditutup dengan konser piano Ananda di hari terakhirnya di Indonesia sebelum pulang ke Spanyol. 

Thursday, January 10, 2013

Saparan Tegarkan Warga dari Kejatuhan Tembakau

AppId is over the quota

Oleh M. Hari Atmoko

Kalau warga dusun di kawasan timur Gunung Sumbing tersebut menjalani tradisi Saparan Merti Dusun tahun ini dalam kemasan lebih meriah, hal itu justru karena mereka sedang merasa "sepi" akibat pengaruh jatuhnya harga tembakau tahun lalu.

Tradisi warga Dusun Gopaan, Desa Genito, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, digelar dengan mendasarkan pada kalender Jawa, bertepatan dengan hari pasaran Pahing, setelah pertengahan bulan Sapar. Tahun ini, tradisi Saparan mereka jatuh pada Selasa (8/1).

Namun, berbagai persiapan telah dimulai sejak hari pertama bulan Sura, sekitar sebulan lalu, melalui pembentukan panitia dusun. Selama 19 hari terakhir sebelum hari tradisi Saparan, warga dusun setempat yang berjumlah 102 kepala keluarga atau 443 jiwa itu sibuk bergotong-royong, antara lain menghias dusun dan membersihkan lingkungan Sendang Piwakan yang menjadi tempat utama prosesi Saparan.

Mereka juga kerja bakti menyingkirkan sedimen di saluran irigasi, sampah di pekarangan rumah dan jalan-jalan dusun. Pada tradisi Saparan tahun ini, mereka menyiapkan empat panggung pementasan kesenian tradisional di beberapa lokasi di dusun yang meliputi empat rukun warga itu.

Sejumlah grup kesenian yang pentas tak hanya dari dusun setempat dengan kesenian utamanya, kuda lumping, dan seniman rakyat yang tergabung dalam grup "Iromo Turonggo", tetapi juga grup lain dari dusun-dusun tetangga.

Beberapa pentas kesenian tradisional dari dusun-dusun tetangga, antara lain kuda lumping (Dusun Ngaglik dan Dobrasan), warok (Kwangsan), kubrosiswo (Plalar), soreng (Desa Kalijoso).

Bahkan, mereka juga menggelar pentas wayang kulit sehari semalam dengan lakon "Anggodo Duto" dengan mendatangkan dalang Ki Slamet Antir, dari Tanggul Anom, Kabupaten Temanggung, kenduri dan tirakatan warga, serta mujahadah dengan meminta kehadiran tiga ulama, masing-masing Kiai Mahfud dan Kiai Ashadi (keduanya dari Desa Genito), serta K.H. Abdul Basyir (Kabupaten Purworejo).

Puluhan orang berasal dari berbagai tempat menggelar berbagai dagangan seperti makanan, minuman, mainan anak, pakaian, hiasan dan alat-alat rumah tangga, di sepanjang tepi kanan dan kiri jalan Dusun Gopakan. Suasana semarak terkesan membalut dusun dengan udara kawasan gunung yang sejuk itu.

Ratusan warga menjalani prosesi di petilasan pepunden dusun yang mereka sebut Kiai Gopak dan Nyai Gopak di Sendang Piwakan. Tempat itu berupa kolam alami yang cukup luas, tak jauh dari Dusun Gopakan.

Di petilasan pepunden dusun yang berupa dua batu di bawah cungkup dari kayu beratap genting itu, mereka berdoa. Seniman dari komunitas Merapi Rumah Seni, Agus Suyitno performa ritual yang disebut "manten tembakau" di dalam kolam.

Mereka juga mengusung gunungan setinggi sekitar dua meter yang berupa tatanan hasil bumi seperti cabai, buncis, paria, petai, wortel, kentang, kacang panjang, gambas, mentimun, pisang, salak, apel, padi, dan jagung.

Di gunungan hasil bumi yang ditandu oleh empat warga berpakaian adat Jawa itu, juga tertancap puluhan batang "bendera uang" yang ditata dari uang kertas pecahan Rp1.000. Selain itu, mereka juga mengusung dengan tandu berupa tumpeng berisi nasi di dalam bakul yang dihias dengan telur, kerupuk, irisan cabai, dan tomat hijau.

Sejumlah warga lainnya dalam prosesi di Sendang Piwakan yang dipimpin kepala dusun Sugitno (48), membawa rigen (alat dari anyaman bambu untuk tempat menjemur tembakau), perajang tembakau, dan pohon tembakau.

Penari kuda lumping putra dan putri dari dusun setempat dan satu grup drum band dari Desa Banaran, Kecamatan Tembarak, Kabupaten Temanggung, juga turut memeriahkan prosesi ritual tradisi Saparan Merti Dusun dengan pentas di salah satu tempat, di sekitar kolam tersebut.

Berdasarkan cerita dari nenek moyang mereka secara turun temurun, Sendang Piwakan terbentuk karena sepasang kerbau "gopakan" atau berguling-guling saat bermain lumpur, hingga tempat itu mengeluarkan air yang melimpah, dan kemudian menjadi kolam atau sendang. Warga menyebut kerbau itu sebagai Kiai dan Nyai Gopak, serta dusun mereka bernama Gopaan.

Air dari Sendang Piwakan, hingga saat ini disalurkan dengan pipa ke dusun yang berjarak sekitar 200 meter untuk keperluan rumah tangga, sedangkan penyaluran melalui sarana irigasi untuk keperluan pertanian mereka.

Saat tradisi Saparan, mereka juga memandikan puluhan kuda lumpingnya di kolam itu. Tatkala warga hendak menjalani hajatan, juga datang ke petilasan itu untuk ziarah dan berdoa.

Kehidupan sehari-hari masyarakat dusun setempat saat ini bukan sebagai petani tembakau secara murni, tetapi mereka adalah petani sayuran dan pedagang sayuran. Namun, setahun sekali, bertepatan dengan musim panen tembakau di berbagai daerah (sekitar April hingga Juli), mereka memanfaatkan peluang ekonomi itu dengan menjadi perajang daun tembakau.

Seorang pemuka warga setempat, Sumpeno (51), dalam bahasa Jawa mengatakan kemakmuran ekonomi masyarakat setempat diukur dari hasil penjualan olahan tembakau, apakah mendapatkan harga yang tinggi atau rendah dari pabrikan atau gudang tembakau di Temanggung.

Setiap musim panen tembakau, mereka membeli daun tembakau panenan petani dari berbagai tempat, seperti Kecamatan Kaliangkrik, Windusari, Ngablak (Kabupaten Magelang), dan Kabupaten Boyolali. Mereka kemudian menjadi perajang dan penjemur tembakau untuk selanjutnya disetor kepada pengusaha gudang tembakau di Temanggung.

"Wah, kalau musim tembakau tahun kemarin, memang kami merasakan ’sepi’ karena harga jatuh, pembayaran dari gudang juga tersendat-sendat. Pengaruh ekonomi dari penjualan tembakau sampai sekarang masih kami rasakan. Mudah-mudahan tahun ini lebih baik," katanya.

Ia membandingkan tentang harga pembelian daun tembakau dan penjualan tembakau rajangan ke gudang. Harga pembelian daun tembakau pada 2011 antara Rp8.500-Rp10.000 per kilogram, sedangkan pada 2012 turun menjadi antara Rp4.500-Rp5.000.

Harga penjualan tembakau yang telah diolah warga setempat antara lain melalui perajangan dan pengeringan pada 2011 antara Rp85.000-Rp100.000 per kilogram, sedangkan pada 2012 turun menjadi antara Rp12.500-Rp50.000.

"’Jatuh mon mbanget’, (Harga sangat jatuh, red.), pembayaran dari gudang juga sempat ’sendhet’ (Tidak lancar, red.). Makanya kami menyebut ’sepi’," katanya didampingi Kadus Sugitno dan seorang tokoh masyarakat setempat lainnya, Suniyo (60).

Oleh karena itu, bertepatan dengan hari Saparan, warga setempat ingin melepaskan diri dari situasi kehidupan ekonomi yang "sepi", sebagai pengaruh jatuhnya penjualan tembakau mereka, dengan mengemas pelaksanaan tradisi leluhur secara lebih meriah ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

"’Menawi sepi niku lak nggih malah kedah diramekke’. (Kalau situasi sepi, malah harus dibuat meriah, red.). Ini permintaan warga, supaya kami menguatkan semangat dan kekompakan menjalani jalan yang benar," katanya.

Sugitno mengatakan untuk memeriahkan tradisi Saparan tahun ini, setiap keluarga minimal mengeluarkan biaya sekitar Rp1.500.000 untuk berbagai keperluan. Pihak panitia juga telah menghitung biaya menjamu makan para seniman berbagai grup dari dusun tetangga yang pentas di Dusun Gopaan, dengan jumlah ditotal sedikitnyaRp26.000.000.

"Tidak ada yang utang. Uang dari setiap warga itu dari hasil panen dan berdagang sayuran di pasar. Kami juga meminta bantuan sponsor dari beberapa pengusaha," katanya.

Saparan mereka yang terkesan meriah itu, antara lain juga terlihat dari 18 mobil pikap dan satu truk yang membawa warga berkonvoi dari tengah dusun hingga Sendang Piwakan, melewati jalan-jalan beraspal mengelilingi Desa Genito sejauh sekitar tiga kilometer. Desa itu terdiri atas sembilan dusun.

Bunyi tabuhan pengiring tarian tradisional terdengar bertalu-talu selama konvoi. Warga di berbagai dusun yang dilewati rombongan masyarakat Gopaan menyaksikan konvoi dari depan rumah masing-masing.

Sugitno yang mengenakan pakaian adat model pejabat Jawa, dengan diapit dua orang berpakaian keprajuritan Jawa yang masing-masing membawa properti tombak, memimpin rombongan prosesi memasuki kompleks Sendang Piwakan.

Dengan didampingi seorang pemuka warga lainnya, Rukun Budi Santosa (48), Sugitno masuk ke cungkup petilasan Kiai dan Nyai Gopak, setelah sebelumnya mereka berjalan di atas jembatan bambu sepanjang sekitar 20 meter beralaskan kain putih dan bertabur bunga mawar, yang membelah kolam itu.

Sejumlah orang meletakkan sesaji, antara lain tiga cangkir porselin berisi minuman kopi, teh kental, dan air putih, bunga mawar warna merah dan putih, serta berbagai hasil bumi di petilasan pepunden itu.

Di dalam cungkup petilasan Kiai dan Nyai Gopak itu, Sugitno berjongkok untuk membakar kemenyan. Setelah terasa bau harum kemenyan menebar di sekeliling tempat tersebut, Rukun Budi Santosa memimpin warga untuk berdoa dengan menggunakan bahasa Jawa.

"’Wekdal punika, warga Dusun Gopaan sami nindakaken bekti, mugi-mugi tansah manggih kawilujengan, katentreman, keamanan. Kalian mugi-mugi anggenipun nyambut damel menapa kemawon, dipun paringana kawilujengan, kathah rejeki saksedya pinuwunipun’. (Saat ini, warga Gopaan melaksanakan tradisi dan berdoa agar beroleh keselamatan, ketenteraman, dan keamanan. Semoga dalam bekerja mendapatkan keselamatan dan rezeki yang cukup, red.)," demikian doa tersebut.

Puisi-puisi Lailatul Kiptiyah

AppId is over the quota

Tanpa Sepengetahuanmu

ada yang telah kusimpan
secara diam-diam
seperti puisi-puisi, buku-buku
juga percakapan-percakapan
denganmu
hingga ketika senja  membuka jendela kamarku
dan guguran daun menyapu punggung sabtu
yang berdebu
maka kembali aku dekat
dengan semuanya itu
tak perlu kau menanam takut
atau  menakar nyeri:

aku tergeletak sendiri
dingin dan sepi

Jakarta, Juni 2012/Rajab 1433 H

Di Teras September

duduk di teras ini
sendiri kuresapi sepi
sinar bulan separuh terjatuh
ke sekelililing rumah
menebar bayang-bayang merah

oh, kulihat ada jejak tapak membekas
di tanah halaman yang ranggas
mengingatkanku pada jejak tapak ibu
yang tak pernah mampu
kucium dengan tuntas
duduk di teras ini
adakah hujan masih terlalu jauh
untuk tiba di September
membiar daun-daun semakin luruh
mengabu di kedalaman sumber

Jakarta, September 2012/Syawal 1433 H

Yang Tersisa dari Hujan

hujan menyisakan lanskap bisu
kulihat dari sebingkai jendela
berwarna abu-abu
ada serimbun perdu di batas
jarak pandang
di mana kupu-kupu menumpahkan
sekepak riang
hujan juga telah menciptakan genangan
sericik ingatan yang meluapkan
bulir-bulir kenangan
dan pada akhirnya ada seseorang
yang selalu datang
hanya untuk menggenapkan langkah
menuju pulang
lalu hujan pun serupa larik-larik blues
yang sedih
sekaligus menghibur
serupa doa-doa putih
deras berarak menuju kubur
Agustus 2012/Ramadhan 1433 H

I’tikaf

selembar doa melafalkan malam
sependar bulan hening temaram
angin terus berjalan
menggapai subuh tanpa letih
membangunkan daun-daun dan ranting
menggugurkan embun-embun putih
oh, betapa aku ingin lebih lama
memanggilMu sebagai kekasih
di dalam cinta
di dalam sedih

Ramadhan 1433 H

Saat Ini

saat ini aku hanya ingin berjalan
menjauh dari keramaian
menghampirimu serupa takdir
yang tak pernah pungkas
oleh musim

Jakarta, 2012

Biodata:
Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur 20 Juli 1975. Puisi-puisinya dimuat di Bali Post, Medan Pos, Suara Karya, Kompas.com, Jurnal Jombangana. Juga tergabung kedalam beberapa antologi bersama; Himpunan Puisi Gempa Padang 76 SR-Solidaritas 25 Sastrawan Indonesia-Singapura-Malaysia (Bisnis 2030, 2009), Roket pun Bersyair (2010), 100 Puisi Tema Ibu “Karena Aku Tak Lahir dari Batu” (Welang Publishing, 2011), Kemala, Dampak Meditasi 70 (2011), Bunga Rampai Cerpen dan Puisi Temu Sastrawan Indonesia ke IV Ternate; Tuah Tara No Ate  (2011), Menyirat Cinta Haqiqi (2012), Antologi Puisi 5 Negara (Tuas Media, 2012), Diverse-Antologi Puisi Dua Bahasa (2012), "Poetry poetry from 228 Indonesian Poets: Flow into the Sink into the Gutter"(Antologi Puisi Dua Bahasa, 2012), Dari Sragen Memandang Indonesia (2012), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi PPN VI Jambi, 2012), Tahta Untuk Ibu (Kumpulan 12 Cerpen oleh 12 Penulis Perempuan Indonesia, D3M Kail 2012), Saat ini bekerja di Jakarta.

Lima Seniman RI Tampil di Italia

AppId is over the quota

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mendukung lima seniman Indonesia tampil dalam 55 th International Art Exhibition of the Venice Biennale di Venice, Italia, Juni hingga November 2013.

Pameran seni rupa kontemporer tertua dan paling bergengsi di dunia ini, diadakan setiap dua tahun sekali. Lima seniman Indonesia yang terdiri dari Albert Yonathan Setyawan, Eko Nugroho, Entang Wiharso, Sri Astari, dan Titarubi akan memamerkan karya-karya terbaiknya di Paviliun Indonesiadalam ajang pameran dunia tersebut.

Paviliun Indonesia seluas 500 meter persegi yang berlokasi di Arsenale sebagai salah satu dari venue utama perhelatan, telah dikontrak oleh produser Bumi Purnati dengan penjamin Kemenparekraf. Hadirnya Paviliun Indonesia dan para perupa ini menandai bahwa seni rupa Indonesia siap menjadi pemain di panggung dunia.

"International Art Exhibition of the Venice Biennale ini merupakan pameran seni rupa kontemporer paling bergengsi di dunia. Kita ingin menampilkan karya para perupa Indonesia yang berkaliber dunia, sekaligus mempromosikan pariwisata dan industri kreatif Indonesia," kata Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwadar, di Jakarta, Kamis (10/1/2013.

Sapta mengatakan, pemerintah terus mendorong agar karya perupa Indonesia mendunia, untuk itu partisipasi perupa Indonesia dalam even 55th International Art Exhibition of the Venice Biennale akan didukung denganmengalok asikan anggaran sebesar Rp 2,5 miliar.

Dukungan dana ini, kata Sapta, jangan dilihat sebagai pembelanjaan, tetapi suatu investasi karena akan memberikan dampak terhadap pencitraan Indonesia sertabenefit berupa pemberitaan dari kegiatan tersebut.