Sunday, February 17, 2013

Kaligrafi China untuk Indonesia

AppId is over the quota
Cornelius Helmy

Bakat seni Tjutju Widjaja (71) awalnya hanya digunakan untuk menjalankan usaha pembuatan kaca patri dan kerajinan kaca lain. Pertemuannya dengan seniman kaligrafi China di Bandung membuat dia turut mengharumkan Indonesia di dunia internasional.

Lewat kaligrafi saya bangga bisa membuat Indonesia bersanding dengan 25 negara peserta kompetisi kaligrafi internasional World Expo Shanghai di China tahun 2010,” kata Tjutju.

Untuk Expo Shanghai 2010, ia mengirimkan tulisan kaligrafi Zheng Qi yang artinya ’jiwa sportif’. Ia ingin tulisan kaligrafinya menyebarkan semangat saling menghargai antarmanusia di dunia. Ide itu diambil dari kehidupannya sehari-hari.

Awalnya Tjutju tak berharap memenangi lomba itu. Ia sudah bangga goresan tinta mo di atas kertas sian che itu dipamerkan bersama 7.463 kaligrafi karya ribuan seniman kaligrafi dari sejumlah negara. Namun, kabar yang diterima dari panitia penyelenggara sungguh mengejutkan. Tjutju menjadi juara kedua.

”Kemenangan itu untuk masyarakat Indonesia. Meski identik dengan kesenian masyarakat Tionghoa, saya yakin kaligrafi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia,” ujarnya.

Kaligrafi China adalah salah satu seni berusia ribuan tahun yang bertahan hingga kini. Penyebarannya tak hanya di China daratan, tetapi juga diaplikasikan etnis Tionghoa di banyak negara. Sama seperti kaligrafi Arab dan Jepang, kaligrafi China menampilkan keindahan dan pesan positif bagi pembuat dan penikmatnya.

Lulusan terbaik

Tjutju kecil tak terbilang anak yang pandai melukis di kelas. Ia ingat, dia selalu menangis saat diminta guru memperlihatkan hasil karyanya. Ia malu karena merasa gambarnya adalah yang terburuk di kelas. Beberapa orang pernah mengatakan ia berbakat melukis, tetapi ia tak percaya.

”Pernah garis tangan saya dibaca salah seorang teman ayah. Ia berkata bahwa saya punya bakat melukis. Namun, saya tak percaya,” cerita Tjutju.

Kalau dia kemudian terjun ke dunia seni, sebenarnya dilatarbelakangi keinginan mengembangkan usaha seni kaca patri miliknya. Ia berharap mendapatkan banyak informasi mengenai ide dan desain kaca patri.

”Saya masuk Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Maranatha, Bandung, delapan tahun lalu. Saat itu saya berusia 62 tahun alias mahasiswa tertua di Maranatha. Saya cuek saja karena tujuannya mau belajar,” katanya.

Awalnya, Tjutju kesulitan mengikuti materi kuliah. Bahkan, untuk membuat lingkaran saja, ia bingung memulainya dari mana dan menentukan besaran antarlingkaran. Namun, semangatnya tak surut.

Perlahan, ia bisa bersaing dengan mahasiswa yang jauh lebih muda. Beberapa mahasiswa heran mengapa Tjutju bisa mendapatkan nilai terbaik pada setiap mata kuliah. Sekitar empat tahun kemudian, ia lulus dengan predikat lulusan terbaik.

”Masih ingin berkembang, saya melanjutkan studi ke program strata dua ITB (Institut Teknologi Bandung) Jurusan Seni Murni. Saya masuk waktu berumur 67 tahun dan lulus dua tahun kemudian. Pemahaman literatur saya semakin bertambah.”

Kesehatan

Perkenalannya dengan kaligrafi juga terjadi tanpa sengaja pada 2003. Saat mengantarkan seorang kerabat ke sanggar seni milik pelukis asal Bandung, Tjiang Yu Tie (almahum), Tjutju tertarik mengetahui cara pembuatannya.

Sebagai keturunan Tionghoa, kaligrafi tak asing baginya. Namun, ia tak paham bagaimana proses pembuatan dan nilai yang terkandung di dalamnya. Di bawah bimbingan Tjiang Yu Tie, ia mendapat banyak pengetahuan tentang kaligrafi yang sebelumnya tak dia ketahui.

Selain bakat seni, membuat kaligrafi juga membutuhkan emosi yang stabil. Jika dilakukan saat emosi kita meledak-ledak, bisa dipastikan kaligrafi itu tak akan sempurna. Menurut Tjutju, kontrol emosi terkait erat dengan teknik pengaturan napas. Ada kalanya seniman kaligrafi harus menahan napas dalam-dalam guna membuat satu garis panjang.

”Pengaturan napas ini menyehatkan. Jangan heran kalau banyak seniman kaligrafi usianya panjang. Di Bandung, ada seniman yang masih menekuni kaligrafi pada usia 98 tahun. Badannya sehat dan bugar,” ujarnya.

Kaligrafi juga ampuh memberikan semangat positif bagi pembuat dan penikmatnya. Alasan dia, tulisan kaligrafi selalu berujar tentang hal baik dan memompa semangat orang. Kaligrafi umumnya berisi petuah atau diambil dari lirik sajak yang indah.

”Tak pernah ada tulisan kaligrafi China yang isinya menjelek-jelekkan atau menghina orang lain,” ungkapnya.

Semangat

Tak lama setelah menyabet juara kedua di Shanghai, nama Tjutju sempat menghilang. Tak muncul lagi kaligrafi buatannya. Latihan menulis kata-kata mutiara setiap pagi yang biasa dia lakukan tak lagi dikerjakannya. Telepon genggam pun sering ia matikan.

Saat itu, perhatian Tjutju dicurahkan sepenuhnya untuk Eddy Rahardjo, anak ketiganya yang sakit keras. Menurut dia, tidak ada yang lebih penting ketimbang keluarganya. Ia mengaku semakin terpuruk saat Eddy meninggal dunia.

”Sempat saya tidak punya semangat untuk berkesenian. Sampai saya ingat pesan Eddy, dia pernah mengatakan, dia bangga dengan prestasi saya lewat kaligrafi dan melukis. Eddy ingin agar saya terus menekuni bidang kesenian yang memang saya senangi. Mengingat itu, saya menjadi kuat lagi,” cerita Tjutju yang juga Ketua Pelaksana Seni Kaligrafi dan Lukis Zhonghua Indonesia.

Kini, menginjak usia 71 tahun, semangat Tjutju terbukti masih tangguh. Ia tercatat sebagai dosen pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Dia mengajar mata kuliah Sejarah Seni Asia.

Tjutju juga menerima tanggung jawab sebagai Direktur Galeri Maranatha, sekaligus mengajar pada Fakultas Seni Rupa dan Desain Maranatha Bandung.

Ia juga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan budaya Tionghoa. Tjutju tercatat sebagai Wakil Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Cabang Jawa Barat. Dia juga menjadi Wakil Ketua Perhimpunan Penulis Mandarin Cabang Bandung.

”Saya juga mengelola Galeri Sejarah Tionghoa di Situ Aksan, Bandung. Isinya tentang peninggalan sejarah dan data warga Indonesia keturunan Tionghoa yang berperan besar membangun Indonesia. Sesuai keinginan ayah saya, kami harus menjadi bagian dan berbakti pada negeri tercinta ini,” kata Tjutju.

No comments:

Post a Comment